Kresna (Dewanagari: कृष्ण; IAST: kṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu
dewa yang dipuja oleh
umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai
dhoti kuning dan
mahkota yang dihiasi bulu
merak. Dalam
seni lukis dan
arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab
Purana dan
Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan
Basudewa dan
Dewaki, bangsawan dari
kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di
India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai
awatara (
inkarnasi)
Dewa Wisnu kedelapan di antara
sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya
Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri,
[1] dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan
Wisnu atau Kresna, misalnya
Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa.
[2] Dalam
Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok
penggembala muda yang mahir bermain
seruling, sedangkan dalam
wiracarita Mahabharata
ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa.
Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran
filosofis, dan umat Hindu meyakini
Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat
kotbah Kresna kepada
Arjuna tentang ilmu rohani.
Kisah-kisah mengenai Kresna muncul secara luas di berbagai ruang
lingkup agama Hindu, baik dalam tradisi filosofis maupun teologis.
[3]
Berbagai tradisi menggambarkannya dalam berbagai sudut pandang: sebagai
dewa kanak-kanak, tukang kelakar, pahlawan sakti, dan Yang Mahakuasa.
[4] Kehidupan Kresna dibahas dalam beberapa
susastra Hindu, yaitu
Mahabharata,
Hariwangsa,
Bhagawatapurana, dan
Wisnupurana.
Pemujaan terhadap
dewa atau pahlawan yang disebut Kresna—dalam wujud
Basudewa,
Balakresna atau
Gopala—dapat ditelusuri sampai awal
abad ke-4 SM. Pemujaan Kresna sebagai
Swayam Bhagawan, atau Tuhan Yang Mahakuasa, yang dikenal sebagai
Kresnaisme, muncul pada Abad Pertengahan dalam situasi
Gerakan Bhakti. Dari
abad ke-10 M,
Kresna menjadi subjek favorit dalam seni pertunjukan. Tradisi pemujaan
di masing-masing daerah mengembangkan berbagai macam wujud/aspek Kresna
seperti
Jagadnata di
Orissa,
Witoba di
Maharashtra dan
Shrinathji di
Rajasthan. Sekte
Gaudiya Waisnawa yang terpusat pada pemujaan kepada Kresna didirikan pada
abad ke-16, dan sejak tahun
1960-an juga telah menyebar di
Dunia Barat, sebagian besar disebabkan oleh organisasi
Masyarakat Internasional Kesadaran Kresna (
International Society for Krishna Consciousness - ISKCON).
[5]
Nama dan gelar
Dalam
aksara Dewanagari,
Kṛṣṇa ditulis
कृष्ण (dibaca
[ˈkr̩ʂɳə]), dengan bunyi
konsonan silabis Ṛ, atau disebut pula vokal
Ṛ (dalam
aksara Dewanagari disimbolkan dengan
ृ, sedangkan dalam
alfabet Fonetis Internasional disimbolkan dengan huruf
[r̩ ]*). Dalam
aksara Jawa, huruf vokal
ृ tersebut dialihaksarakan sebagai huruf
Pa cerek (huruf
Ra repa dalam
aksara Bali) yang melambangkan bunyi
/rə/ daripada
/r̩/ (ditulis dengan huruf Latin "Re"), karena bunyi konsonan silabis
Ṛ seperti dalam
bahasa Sanskerta tidak terdapat dalam
bahasa Jawa dan
Bali. Maka dari itu kata
कृष्ण dialihaksarakan menjadi "Kresna" (dibaca
[ˈkrəsna]).
Arca Kresna di Mayapur, India. Pada arca ini, Kresna digambarkan berkulit hitam.
Kata
kṛṣṇa dalam
bahasa Sanskerta pada dasarnya merupakan
kata sifat yang berarti "hitam", "gelap" atau "biru tua". Kata tersebut berhubungan dengan kata
čьrnъ (
crn, 'hitam') dalam
rumpun bahasa Slavia. Sebagai kata benda feminin, kata
kṛṣṇā digunakan dengan makna "malam, hitam, kegelapan" dalam kitab suci
Regweda, dan sebagai iblis atau jiwa kegelapan dalam
mandala (bab) IV
Regweda. Untuk
nama diri, kata
Kṛṣṇa muncul dalam mandala VIII sebagai nama seorang
penyair. Sebagai salah satu nama
Wisnu, kata "Kṛṣṇa" terdaftar sebagai nama ke-57 dalam kitab
Wisnu Sahasranama (Seribu Nama Wisnu). Berdasarkan nama tersebut, Kresna seringkali digambarkan dalam
arca dengan kulit hitam maupun biru.
Kresna juga dikenal dengan berbagai macam
nama, julukan, dan gelar, yang mencerminkan berbagai atribut dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dalam kitab
Mahabarata dan
Bhagawadgita, Kresna disebut dengan berbagai nama, sesuai karakteristiknya. Beberapa nama tersebut diantaranya:
Acyuta (yang kekal; teguh);
Arisudana (penghancur musuh);
Bagawan (Yang Mahakuasa);
Gopala (pelindung sapi);
Gowinda (penggembala sapi);
Hresikesa (penguasa indria);
Janardana (juru selamat umat manusia);
Kesawa (yang berambut indah);
Kesinisudana (pembunuh raksasa
Kesi);
Madawa (suami
dewi keberuntungan);
Madusudana (pembunuh raksasa Madhu);
Mahabahu (yang berlengan perkasa);
Mahayogi (rohaniwan agung);
Purusottama (manusia utama, yang berkepribadian paling baik);
Warsneya (keturunan
Wresni);
Basudewa;
Wisnu;
Yadawa (keturunan
Yadu);
Yogeswara (penguasa segala kekuatan batin).
Di antara berbagai namanya, yang terkenal adalah
Gowinda, "penggembala sapi", atau
Gopala, "pelindung para sapi", merujuk kepada pengalaman masa kecil Kresna di
Braj.
[6][7] Beberapa nama lainnya dianggap penting bagi wilayah tertentu; misalnya,
Jagatnata (penguasa alam semesta), terkenal di
Puri, India Timur.
[8]
Penggambaran
Kresna dapat dikenali secara mudah dengan mengamati atribut-atributnya. Dalam wujud
arca, Kresna digambarkan berkulit hitam atau gelap, atau bahkan putih. Dalam budaya
pewayangan Jawa, Kresna digambarkan berkulit hitam, sedangkan di
Bali,
ia digambarkan berkulit hijau. Dalam penggambaran umum misalnya lukisan
modern, Kresna biasanya digambarkan sebagai pemuda berkulit biru. Warna
hitam merupakan warna Dewa
Wisnu menurut konsep
Nawa Dewata, sedangkan
biru melambangkan keberanian, kebulatan tekad, pikiran yang mantap dalam menghadapi situasi sulit, serta kesadaran yang sempurna.
[9][10]
Warna biru juga melambangkan langit dan laut, masing-masing bermakna
luas dan dalam yang membentuk suatu ketidakterbatasan, sama halnya
seperti
Wisnu.
[11]
Dia seringkali tampil dengan
dhoti (semacam
kemben) berbahan
sutra berwarna kuning, melambangkan cahaya yang melenyapkan kegelapan.
[11] Kepalanya dihiasi mahkota dengan bulu
merak, melambangkan
galaksi berwarna-warni dalam kegelapan,
[11] atau pusat energi di atas
indria.
[12] Penggambaran umum biasanya menampilkannya sebagai anak kecil, atau seorang lelaki dalam gaya santai, sedang memainkan
seruling.
[13][14] Dalam wujud ini, ia biasanya ditampilkan berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Kadangkala ditemani para
sapi, menegaskan posisinya sebagai penggembala ilahi (
Govinda). Dalam
agama Hindu, sapi dianggap suci karena melambangkan
Ibu Pertiwi.
[9]
Patung Kresna di Singapura yang menggambarkan adegan dalam
Mahabharata, ketika ia menunjukkan wujud aslinya kepada Arjuna, sesaat sebelum perang di Kurukshetra dimulai.
Patung Balakresna yang tersimpan di Museum Nasional,
New Delhi,
India.
Peran Kresna sebagai kusir kereta
Arjuna di medan perang
Kurukshetra, seperti yang tergambar dalam
wiracarita Mahabharata,
adalah subjek umum lain dalam penggambaran Kresna. Dalam hal ini, ia
ditampilkan sebagai sosok pria, seringkali dengan karakteristik
dewa-dewi dalam kesenian Hindu, misalnya banyak lengan maupun kepala,
dan dengan atribut Wisnu, misalnya
cakra. Sebagai seorang kusir biasa, ia ditampilkan dengan dua lengan. Lukisan gua dari masa 800 SM di
Mirzapur,
Uttar Pradesh,
India Utara, yang menampilkan pertempuran kusir-kusir kereta kuda,
salah satu di antaranya tampak akan melemparkan cakram yang kemungkinan
besar dapat dikenali sebagai Kresna.
[15]
Penggambaran dalam kuil seringkali menampilkan Kresna sebagai seorang
pria yang berdiri tegak, dalam gaya formal. Dapat ditampilkan
sendirian, dapat pula dengan figur terkait dengannya:
[16] Balarama (Baladewa — kakaknya) dan
Subadra (saudari tirinya), atau istrinya yang utama yaitu
Rukmini dan
Satyabama.
Seringkali Kresna digambarkan bersama dengan kekasihnya dari kaum
gopi (wanita pemerah susu),
Radha. Sekte
Waisnawa di
Manipur tidak memuja Kresna saja, tetapi juga aspeknya sebagai
Radha Krishna,
[17] kombinasi antara Kresna dan Radha. Hal ini juga merupakan karakteristik dari aliran
Rudra Sampradaya[18] dan
Nimbarka sampradaya,
[19] demikian pula
aliran kepercayaan Swaminarayan. Tradisi tersebut memuliakan
Radha Ramana, yang dipandang oleh pengikut
Gaudiya sebagai wujud Radha Krishna.
[20]
Kresna juga digambarkan dan dipuja sebagai anak kecil (
Balakresna), dengan posisi merangkak atau menari, biasanya dengan
mentega di tangannya.
[21][22] Perbedaan di masing-masing daerah tentang penggambaran Kresna dapat teramati dalam wujudnya yang bermacam-macam, misalnya
Jagadnata di
Orissa,
Witoba di
Maharashtra[23] dan
Shrinathji di
Rajasthan.
Kepustakaan tentang Kresna
Sastra terawal yang secara eksplisit menyediakan deskripsi terperinci tentang Kresna sebagai seorang tokoh adalah kitab
Mahabharata. Pada kitab tersebut ia digambarkan sebagai perwujudan
Dewa Wisnu.
[24] Kresna adalah tokoh yang muncul di berbagai cerita utama dalam wiracarita tersebut. Delapan belas bab dalam jilid
Mahabharata keenam (
Bismaparwa) merupakan bagian istimewa yang menjadi kitab tersendiri yang disebut
Bhagawadgita, mengandung
kotbah Kresna kepada
Arjuna, sepupunya sendiri, dengan latar belakang sesaat sebelum
perang Kurukshetra (
Baratayuda)
dimulai. Akan tetapi perincian kehidupan Kresna saat kanak-kanak dan
remaja tidak terdapat dalam wiracarita tersebut, melainkan dalam
Bhagawatapurana,
Wisnupurana,
Brahmawaiwartapurana, dan
Hariwangsa. Kitab
Bhagawatapurana dan
Wisnupurana diagungkan oleh pengikut
Waisnawa, sedangkan
Hariwangsa adalah kitab pendukung yang menjelaskan hal yang belum dibahas dalam wiracarita
Mahabharata.
Chandogya Upanishad (
3:17:6) yang ditulis sekitar masa 900 SM-700 SM menyebut Basudewa Kresna sebagai putra
Dewaki dan murid dari Ghora Angirasa, ahli nujum yang mengajari muridnya filsafat
Chandogya. Dengan pengaruh filsafat
Chandogya, Kresna memberi kotbah kepada
Arjuna tentang pengorbanan, yang dapat dibandingkan dengan
purusha atau
individu.
[25][26][27][28]
Nama
Kṛṣṇa muncul dalam kitab Buddha dengan ejaan "Kaṇha", secara
fonetis sama dengan
Kṛṣṇa.
[29]
Menurut bukti dari
Megasthenes (ahli
etnografi Yunani, sekitar 350-290 SM) dan dalam
Arthasastra karya
Kautilya (400-300 SM),
Vāsudeva (Basudewa) dipuja sebagai Tuhan Yang Mahakuasa dalam konsep
monoteisme yang kuat.
[30]
Sekitar 150 SM,
Patanjali dalam kitab
Mahabhashya karyanya menulis sebuah
sloka sebagai berikut: "Semoga kejayaan Kresna dengan ditemani oleh
Sangkarsana
meningkat!" Sloka-sloka lainnya disebutkan. Dalam salah satu sloka
disebutkan "Janardana bersama dirinya sebagai yang keempat" (Kresna
dengan tiga rekannya, ketiganya adalah Sangkarsana, Pradyumna, dan
Aniruda). Sloka lainnya menyebut tentang alat musik yang dimainkan saat
pertemuan di kuil Rama (
Baladewa/
Balarama) dan Kesawa (Kresna). Patanjali juga menjelaskan pertunjukkan yang dramatis dan mimetis (
Krishna-Kamsopacharam) yang menggambarkan adegan terbunuhnya
Kangsa oleh Basudewa (Kresna).
[31]
Pada abad ke-1 SM, tampaknya ada bukti pemujaan lima pahlawan bangsa
Wresni (
Baladewa [Balarama], Kresna,
Pradyumna,
Aniruda dan
Samba) dari sebuah
prasasti yang ditemukan di
Mora dekat
Mathura,
India, yang tampaknya menyebutkan tentang putra
satrap Rajuwula yang Agung, mungkin
satrap Sodasa. Sebuah
citra tentang
Wresni, mungkin Basudewa, dan "Lima Kesatria".
[32] Prasasti Mora bertuliskan
aksara Brahmi tersebut kini disimpan di
Museum Mathura.
[33][34]
Banyak kitab
Purana menceritakan kehidupan Kresna atau beberapa hal penting darinya. Dua
Purana, yakni
Bhagawatapurana (
Srimadbhagawatam) dan
Wisnupurana, yang mengandung kisah kehidupan dan ajaran Kresna secara terperinci, adalah kitab yang paling dimuliakan secara
teologis oleh aliran
Gaudiya Waisnawa.
[35] Sekitar seperempat
Bhagawatapurana dihabiskan untuk memuji kehidupan dan filsafatnya.
Kehidupan
Riwayat Kresna dapat disimak dalam kitab
Mahabharata,
Hariwangsa,
Bhagawatapurana,
Brahmawaiwartapurana, dan
Wisnupurana. Latar belakang kehidupan Kresna pada masa kanak-kanak dan remaja adalah
India Utara, yang mana sekarang merupakan wilayah negara bagian
Uttar Pradesh,
Bihar,
Haryana, sementara lokasi kehidupannya sebagai pangeran di
Dwaraka sekarang dikenal sebagai negara bagian
Gujarat.
Kelahiran
Menurut kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan
perhitungan astronomi Hindu, hari kelahiran Kresna yang dikenal sebagai
Janmashtami,
[36] jatuh pada tanggal 19 Juli tahun 3228 SM.
[37][38]
Menurut
Itihasa (wiracarita Hindu) dan
Purana (mitologi Hindu), Kresna merupakan anggota keluarga bangsawan di
Mathura, ibukota
kerajaan Surasena di
India Utara (kini kawasan
Uttar Pradesh). Ia terlahir sebagai putra kedelapan
Basudewa (putra Raja
Surasena) dan
Dewaki (keponakan Raja
Ugrasena). Orang tuanya termasuk kaum
Yadawa atau keturunan
Yadu, putra raja legendaris
Yayati. Raja
Kangsa, kakak sepupu Dewaki,
[39] mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya sendiri ke penjara, yaitu
Ugrasena.
Pada suatu ketika, ia mendengar ramalan yang menyatakan bahwa ia akan
mati di tangan salah satu putra Dewaki. Karena mencemaskan nasibnya, ia
mencoba membunuh Dewaki, namun Basudewa mencegahnya. Basudewa menyatakan
bahwa mereka bersedia dikurung dan berjanji akan menyerahkan setiap
putra mereka yang baru lahir untuk dibunuh. Setelah enam putra
pertamanya terbunuh, dan Dewaki kehilangan putra ketujuhnya, maka
lahirlah Kresna. Karena hidup Kresna terancam bahaya, maka ia
diselundupkan keluar penjara oleh Basudewa dan dititipkan pada
Nanda dan
Yasoda, sahabat Basudewa di
Vrindavan. Dua saudaranya yang lain juga selamat yaitu,
Baladewa alias
Balarama (putra ketujuh Dewaki, dipindahkan secara ajaib ke janin
Rohini, istri pertama Basudewa) dan
Subadra (putra dari Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Baladewa dan Kresna).
Menurut kitab
Bhagawatapurana, Kresna lahir tanpa
hubungan seksual, melainkan melalui "transmisi mental" dari pikiran Basudewa ke rahim
Dewaki. Umat Hindu meyakini bahwa pada masa itu, jenis ikatan tersebut dapat dilakukan oleh makhluk-makhluk yang mencapainya.
[36][40][41] Tempat yang dipercaya oleh para pemujanya untuk memperingati hari kelahiran Kresna kini dikenal sebagai
Krishnajanmabhumi, dimana sebuah kuil didirikan untuk memberi penghormatan kepadanya.
Masa kanak-kanak dan remaja
Lukisan Kresna mengangkat
bukit Gowardhana, karya Shahadin dari India, dibuat sekitar akhir abad ke-17.
Kresna dibesarkan oleh
Nanda dan
Yasoda, anggota komunitas
penggembala sapi yang ada di
Vrindavana. Kisah masa kanak-kanak dan remaja Kresna menceritakan bagaimana ia menjadi seorang penggembala sapi,
[42] tingkah nakalnya sebagai
makhan chor (pencuri
mentega), kegagalan
Kangsa
dalam membunuhnya, dan perannya sebagai pelindung rakyat Vrindavana.
Pada masa kecilnya, Kresna telah melakukan berbagai hal yang
menakjubkan. Ia membunuh berbagai
raksasa—di antaranya
Putana (raksasa wanita),
Kesi (raksasa kuda),
Agasura (raksasa ular)—yang diutus oleh Kangsa untuk membunuh Kresna. Ia juga menjinakkan naga
Kaliya, yang telah meracuni air sungai
Yamuna dan menewaskan banyak penggembala. Dalam kesenian Hindu, seringkali Kresna digambarkan sedang menari di atas kepala naga
Kaliya yang bertudung banyak. Jejak kaki Kresna memberi perlindungan kepada Kaliya sehingga
Garuda—musuh para naga—tidak akan berani menganggunya.
Kresna dipercaya mampu mengangkat
bukit Gowardhana untuk melindungi penduduk Vrindavana dari tindakan
Indra, pemimpin para
dewa
yang semena-mena dan mencegah kerusakan lahan hijau Gowardhana. Indra
dianggap sudah terlalu besar hati dan marah ketika Kresna menyarankan
rakyat Vrindavana untuk merawat hewan dan lingkungan yang telah
menyediakan semua kebutuhan mereka, daripada menyembah Indra setiap
tahun dengan menghabiskan sumber daya mereka.
[43][44] Gerakan spiritual yang dimulai oleh Kresna memiliki sesuatu di dalamnya yang melawan bentuk
ortodoks penyembahan
dewa-dewa Weda seperti
Indra.
[45]
Kisah permainannya dengan para
gopi (wanita pemerah susu) di Vrindavana, khususnya
Radha (putri Wresabanu, salah seorang penduduk asli Vrindavana) dikenal sebagai
Rasa lila dan diromantisir dalam puisi karya
Jayadeva, penulis
Gita Govinda. Hal ini menjadi bagian penting dalam perkembangan tradisi
bhakti Kresna yang memuja
Radha Krishna.
[46]
Sang Pangeran
Kresna beserta
Baladewa yang masih muda diundang ke
Mathura untuk mengikuti pertandingan
gulat
yang diselenggarakan Kangsa. Tujuan sebenarnya adalah membunuh Kresna
dengan dalih pertandingan gulat. Setelah mengalahkan para pegulat
Kangsa, Kresna menggulingkan kekuasaan Kangsa sekaligus membunuhnya.
Kresna menyerahkan tahta kepada ayah Kangsa,
Ugrasena, sebagai raja para
Yadawa. Ia juga membebaskan ayah dan ibunya yang dikurung oleh Kangsa. Kemudian ia sendiri menjadi pangeran di kerajaan tersebut.
Kunti—bibi Kresna—menikah dengan
Pandu dari
kerajaan Kuru dan memiliki tiga putra. Beserta dua putra dari
Madri—istri kedua Pandu—kelima putra Pandu disebut
Pandawa. Maka dari itu Kresna memiliki hubungan keluarga dengan para Pandawa, dan memiliki hubungan yang istimewa dengan
Arjuna, salah satu Pandawa.
Sebelum berdirinya
kerajaan Dwaraka, kota
Mathura—kediaman keluarga Kresna (
Yadawa)—diserbu oleh
Jarasanda, Raja
Magadha
karena dendam pribadi. Penyerbuan tersebut berhasil diredam
berkali-kali, namun Jarasanda tidak menyerah. Kemudian Jarasanda dibantu
oleh
Kalayawana, yang memiliki dendam pribadi terhadap klan Yadawa. Persekutuan tersebut memaksa Kresna mengungsikan para
Yadawa ke suatu wilayah di India Barat yang menghadap
Laut Arab (pada masa sekarang disebut
Gujarat) dan mendirikan sebuah kerajaan di sana, bernama
kerajaan Dwaraka[47] (secara
harfiah berarti "kota banyak gerbang").
[48] Setelah Dwaraka didirikan, Kresna mengalahkan
Kalayawana dengan suatu jebakan.
Kresna menikahi
Rukmini, putri dari
kerajaan Widarbha, dengan cara kawin lari. Di tempat lain,
Sisupala,
sepupu Kresna yang berencana melamar Rukmini menjadi kecewa setelah
mengetahui berita tersebut sehingga ia membenci Kresna. Dari
pernikahannya dengan Rukmini, Kresna memiliki putra bernama
Pradyumna.
Permata Syamantaka
Pada suatu ketika,
Satrajit, kerabat jauh Kresna menerima permata
Syamantaka dari
Dewa Surya. Kresna menyarankan agar permata itu diserahkan kepada
Ugrasena—raja kaum
Yadawa—namun Satrajit menolaknya.
Prasena,
saudara Satrajit membawa permata itu saat berburu dan tidak pernah
kembali lagi. Satrajit menuduh Kresna telah membunuh Prasena karena
menginginkan permata itu. Untuk membersihkan nama baiknya, Kresna
melacak jejak Prasena. Akhirnya ia mendapati bahwa Prasena telah dibunuh
seekor hewan buas, dan permata Syamantaka tidak ditemukan pada
jenazahnya. Ia mengikuti jejak hewan yang membunuh Prasena, hingga
mendapati bangkai seekor singa. Ia tidak menemukan permata Syamantaka
ada pada bangkai tersebut. Akhirnya ia mengikuti jejak pembunuh singa
tersebut, dan sampai di kediaman seekor beruang bernama
Jembawan. Di tempat tersebut ia mendapati bahwa permata Syamantaka tersimpan di sana.
Kresna meminta Jembawan menyerahkan permata Syamantaka, namun
permintaannya ditolak sehingga mereka berkelahi. Setelah Jembawan
menyadari siapa sesungguhnya Kresna, ia menyerah dan menjelaskan bahwa
ia mendapatkan permata itu dari seekor singa. Ia pun menyerahkan permata
Syamantaka beserta putrinya yang bernama
Jambawati
untuk dinikahi Kresna. Setelah Kresna kembali dari penyelidikannya, dan
menyerahkan Syamantaka kepada Satrajit, maka Satrajit merasa malu
karena sudah berprasangka buruk terhadap Kresna. Untuk memperbaiki
hubungan di antara mereka, ia menikahkan putrinya yang bernama
Satyabama kepada Kresna.
Para istri Kresna
Dalam kitab
Bhagawatapurana diceritakan bahwa
Narakasura dari
kerajaan Pragjyotisha mengalahkan
Indra,
pemimpin para dewa. Indra mengadukan hal tersebut kepada Kresna
sehingga Kresna menyerbu Pragjyotisha dengan angkatan perangnya. Kresna
berhasil mengalahkan Narakasura dan membebaskan 16.100 putri yang
ditawan oleh Narakasura. Menurut kitab
Bhagawatapurana, Kresna menikahi 16.108 putri,
[49][50] dan delapan di antaranya adalah yang terkemuka dan disebut dengan istilah
Ashta Bharya — yaitu
Rukmini,
Satyabama,
Jambawati, Kalindi, Mitrawrinda, Nagnajiti, Badra dan Laksana.
[51][52] Kresna menikahi 16.100 putri lainnya, yang merupakan tawanan
raksasa Narakasura,
untuk mengembalikan kehormatan mereka. Kresna berjasa karena membunuh
raksasa tersebut dan membebaskan mereka. Menurut adat sosial yang ketat
pada masa itu, seluruh wanita tawanan memiliki martabat rendah, dan
tidak memungkinkan untuk menikah, karena mereka di bawah kendali
Narakasura. Akan tetapi Kresna menikahi mereka untuk mengembalikan
status mereka di masyarakat. Pernikahan dengan 16.100 putri tawanan
tersebut kurang lebih merupakan rehabilitasi wanita massal.
[53] Dalam tradisi
Waisnawa, dipercaya bahwa para istri Kresna merupakan manifestasi Dewi
Laksmi—pasangan Dewa
Wisnu—atau merupakan
jiwa istimewa yang melewati kualifikasi setelah menghabiskan banyak masa hidup dalam
tapasya, sedangkan Satyabama, merupakan ekspansi dari
Radha.
[54]
Upacara Rajasuya
Kresna memenggal
Sisupala dengan cakranya saat upacara
Rajasuya diselenggarakan oleh
Yudistira. Lukisan karya Jnananjana Dasa.
Dalam kitab
Mahabharata,
Yudistira, sepupu Kresna dari
kerajaan Kuru ingin mengadakan upacara
Rajasuya. Atas saran Kresna, ia mengerahkan saudara-saudaranya (para
Pandawa) untuk menaklukkan para raja di
Bharatawarsha (
India). Di antara para raja, yang sulit ditaklukkan adalah
Jarasanda, raja
Magadha.
Bima—salah satu Pandawa—menantangnya untuk bertarung dengan
gada.
Mereka bertarung selama 27 hari. Setiap kali matahari terbenam, mereka
beristirahat untuk melanjutkan pertarungan pada hari berikutnya.
Jarasanda sulit dibunuh. Pada hari ke-28, atas petunjuk Kresna, Bima
membelah tubuh Jarasanda menjadi dua bagian (kanan-kiri), dan
melemparkannya ke arah berlawanan. Dengan demikian, Jarasanda dapat
dibunuh.
Setelah Jarasanda dikalahkan, upacara
Rajasuya diselenggarakan oleh
Yudistira
dan para raja yang ditaklukkannya diundang untuk menghadirinya. Untuk
menghormati para undangannya, Yudistira memutuskan untuk memberi hadiah
kepada orang-orang yang paling utama di antara mereka. Ia meminta saran
Bisma,
kakeknya untuk menentukan siapa yang berhak diberikan hadiah terlebih
dahulu. Bisma menyarankan agar hadiah diberikan kepada Kresna, dan
Yudistira pun menyetujuinya. Akan tetapi, keputusan tersebut ditolak
oleh
Sisupala.
Sisupala menghina Kresna secara bertubi-tubi, namun Kresna tetap
bersabar. Sesuai janji Kresna kepada ibu Sisupala, ia tidak akan
membunuh Sisupala kecuali bila makian yang diterimanya dari Sisupala
sudah lebih dari seratus kali. Setelah Sisupala menghina Kresna lebih
dari seratus kali, Kresna mengeluarkan senjata cakranya kemudian
memenggal kepala Sisupala. Menurut legenda, Sisupala—beserta
Dantawaktra, rekannya—adalah reinkarnasi
Jaya dan Wijaya, penjaga pintu gerbang
Waikuntha, kediaman
Wisnu. Karena melarang
Catursana
memasuki Waikuntha, mereka dihukum untuk turun ke bumi, dan atas
keinginan mereka sendiri, mereka dilahirkan sebagai musuh Wisnu dan
dibunuh oleh Wisnu sendiri. Tindakan Kresna (sebagai
awatara Wisnu) membunuh Sisupala telah membebaskan jiwa Sisupala dari
reinkarnasi yang harus dialaminya sehingga jiwanya kembali menuju Waikuntha.
[55]
Baratayuda dan Bhagawadgita
Lukisan Kresna sebagai juru damai, karya
Raja Ravi Varma. Dalam lukisan, Kresna mencegah
Satyaki, rekannya yang hendak menghadapi para
Korawa yang tidak menyetujui usulan damai yang diberikan Kresna.
Perselisihan antara para
Pandawa dan
Korawa—sepupu mereka—dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan para Pandawa atas sikap para Korawa yang menghalalkan segala cara agar tahta
kerajaan Kuru tidak jatuh ke tangan
Yudistira—yang
tersulung di antara Pandawa—sebagai putra mahkota tertua. Kresna
bertindak sebagai juru damai, namun upaya perundingan gagal karena para
Korawa—yang dipimpin
Duryodana—tidak mau mengalah. Di samping itu, Duryodana senantiasa dihasut oleh pamannya,
Sangkuni.
Saat keputusan perang tidak terelakkan lagi, hampir seluruh raja di
Bharatawarsha (
India)
diminta untuk berpartisipasi, dan akhirnya semuanya menjadi dua pihak,
yaitu pihak Pandawa dan Korawa. Kresna menawarkan kesempatan kepada dua
pihak untuk memilih pasukannya atau dirinya sendiri, namun dengan
kondisi tidak membawa senjata apapun.
Arjuna
yang mewakili Pandawa memilih agar Kresna berada di pihaknya, sedangkan
Duryodana—pemimpin para Korawa—memilih pasukan Kresna. Saat tiba
waktunya untuk berperang, Kresna bertindak sebagai kusir kereta perang
Arjuna, karena sesuai dengan perjanjian bahwa ia tidak akan membawa
senjata apapun.
Saat meninjau angkatan perang dan mengamati pihak yang akan
berperang, Arjuna menjadi ragu setelah menyaksikan keluarga, sepupu,
kerabat, serta kawan-kawan yang dicintainya bersiap-siap untuk membunuh
satu sama lain. Kemudian Kresna menasihati Arjuna tentang perang yang
akan dihadapinya. Percakapan tersebut meluas menjadi suatu wacana dan
menjadi kitab tersendiri, dikenal sebagai
Bhagawadgita 'Kidung Ilahi'.
[56] Dalam
Bhagawadgita, Kresna menguraikan ajaran
Iswara (ketuhanan),
jiwa,
dharma (kewajiban),
prakerti (alam semesta), dan
kala (waktu).
[57]
Kresna juga menjelaskan bahwa tujuannya berada di dunia adalah untuk
menyelamatkan orang saleh dan membinasakan orang jahat. Kutipan yang
terkenal adalah:
“ |
Kapanpun dan dimanapun
kebajikan merosot, dan kejahatan merajalela, pada saat itulah aku
menjelma, wahai keturunan Bharata (Arjuna). Untuk menyelamatkan orang
saleh dan menghukum orang jahat, serta menegakkan kebenaran, aku lahir
dari zaman ke zaman. (Bhagawadgita, 4:7–8) |
” |
Saat
Yudistira
merasa tertekan atas kekalahan yang diterima pihaknya pada hari
pertama, Kresna tetap optimis bahwa kemenangan sudah pasti akan diraih
Yudistira karena ia bertindak di jalan yang benar dan telah mendapat
restu dari
Bisma—kakeknya
sendiri, sekaligus kesatria tua yang harus dihadapinya dalam perang
itu—sesaat sebelum perang dimulai. Seperti halnya Kresna, Bisma juga
berkata bahwa kemenangan pasti akan diraih Yudistira dan ia mendoakan
cucunya itu agar mencapai kejayaan, meskipun mereka harus saling
menyerang dalam perang.
Seringkali Kresna meminta
Arjuna agar segera mengalahkan
Bisma, kakek para Pandawa dan Korawa. Keraguan Arjuna membuat Kresna marah sehingga ia mencopot roda keretanya sebagai pengganti
cakram
untuk membunuh Bisma. Akan tetapi tindakannya segera dicegah oleh
Arjuna yang berjanji bahwa ia akan mengalahkan kesatria tua tersebut
pada hari berikutnya. Setelah para Pandawa mengetahui kelemahan Bisma,
pada hari berikutnya, Kresna menginstruksikan
Srikandi, putra Raja
Drupada
agar menghadapi Bisma, dengan ditemani oleh Arjuna. Bisma, yang merasa
bahwa Srikandi telah dilahirkan untuk membunuhnya, sulit menghindari
serangan Arjuna yang bersembunyi di belakang Srikandi. Akhirnya Bisma
dikalahkan pada hari kesepuluh.
Kesabaran Kresna habis sehingga ia ingin membunuh
Bisma dengan tangannya sendiri, namun dicegah oleh
Arjuna. Lukisan karya Pariksit Dasa.
Kresna juga membantu Arjuna dalam membunuh
Jayadrata, kesatria Korawa yang menahan para Pandawa dalam usaha menyelamatkan
Abimanyu—putra Arjuna—yang terkurung dalam formasi
Cakrabyuha dan terbunuh oleh serangan serentak yang dilancarkan delapan kesatria Korawa. Kresna juga meruntuhkan semangat
Drona—komandan tentara Korawa, pengganti Bisma—setelah ia memberi isyarat pada
Bima untuk membunuh seekor
gajah perang bernama Aswatama, nama yang serupa dengan nama
putra semata wayang Drona. Pandawa berteriak bahwa Aswatama mati, namun Drona enggan mempercayainya sebelum ia mendengar langsung dari
Yudistira
yang dikenal sebagai orang yang tidak pernah berbohong. Kresna tahu
bahwa Yudistira tidak akan berdusta, maka ia mengatur siasat agar
Yudistira tidak berbohong namun Drona menganggap putranya telah gugur.
Saat ditanya oleh Drona, Yudistira berkata, "Aswatama mati. Entah gajah,
entah manusia." Tetapi setelah Yudistira mengucapkan kalimat pertama,
tentara Pandawa yang telah diperintah oleh Kresna segera membuat
kegaduhan dengan membunyikan genderang perang dan
sangkakala,
sehingga Drona tidak mendengar kalimat kedua yang diucapkan Yudistira
dan percaya bahwa putranya telah gugur. Setelah dilanda dukacita, Drona
meletakkan senjatanya, dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh
Drestadyumna untuk memenggal kepalanya.
Saat Arjuna bertarung melawan
Karna,
roda kereta Karna terperosok ke dalam genangan lumpur. Saat Karna
mencoba mengangkat keretanya dari lumpur, Kresna mengingatkan Arjuna
tentang tindakan Karna dan Korawa lainnya yang telah melanggar peraturan
dalam peperangan saat menyerang dan membunuh
Abimanyu
secara serentak, dan ia meyakinkan Arjuna untuk menempuh cara yang sama
untuk membunuh Karna. Maka Arjuna memenggal kepala Karna saat kesatria
itu sedang berusaha mengangkat keretanya dari lumpur.
Menjelang hari puncak peperangan,
Duryodana menemui
Gandari,
ibunya untuk meminta anugerah agar seluruh tubuhnya kebal dari segala
serangan. Untuk itu, ia harus datang dalam keadaan telanjang bulat.
Kresna mengolok-oloknya sehingga ia menjadi malu. Ia memutuskan untuk
menutupi selangkangannya dengan kulit pisang saat menemui ibunya.
Setelah Duryodana tiba, Gandari membuka penutup matanya dan mencurahkan
kekuatan dari matanya ke tubuh Duryodana, tetapi ia kecewa setelah
mengetahui bahwa Duryodana menutupi selangkangan dan paha sehingga
daerah itu tidak akan kebal. Ketika Duryodana bertarung dengan
Bima,
serangan Bima tidak berpengaruh bagi Duryodana. Untuk menyelesaikannya,
Kresna mengingatkan Bima akan janjinya untuk membunuh Duryodana dengan
cara memukul pahanya. Bima pun melakukannya, meskipun melanggar
peraturan (mengingat bahwa Duryodana sendiri telah melanggar
dharma
pada perbuatannya pada masa lalu). Dengan demikian, strategi Kresna
telah membantu Pandawa memenangkan perang dengan menjatuhkan seluruh
pemimpin tentara Korawa, tanpa perlu mengangkat senjatanya. Ia juga
menghidupkan kembali
Parikesit, cucu Arjuna yang diserang dengan senjata
Brahmastra oleh
Aswatama saat berada di dalam janin ibunya. Di kemudian hari, Parikesit menjadi penerus Pandawa.
Kehidupan di kemudian hari
Kehancuran Wangsa Yadawa, lukisan karya Pariksit Dasa.
Setelah perang usai,
Yudistira diangkat sebagai Raja
Kuru, dengan pusat pemerintahan di
Hastinapura. Ia memerintah selama 36 tahun. Sementara itu Kresna tinggal bersama kaumnya di
Dwaraka. Karena
Samba—putra Kresna—dan beberapa pemuda
Yadawa telah mengolok-olok para
resi yang mengunjungi Dwaraka, maka kaum Yadawa dikutuk agar hancur dengan menggunakan senjata
gada yang dikeluarkan dari perut Samba. Atas perintah
Ugrasena,
senjata tersebut dihancurkan hingga menjadi debu lalu dibuang ke laut.
Debu tersebut hanyut ke tepi pantai Prabasha dan tumbuh menjadi semacam
tanaman rumput, disebut
eruka.
Pada suatu perayaan, kaum Yadawa mengunjungi Prabasha dan berpesta
pora di sana. Karena pengaruh minuman keras, mereka mabuk dan saling
hantam. Perkelahian pun berubah menjadi pembunuhan masal. Saat
menyaksikan kaumnya saling bunuh, Kresna menggenggam rumput
eruka
dan melemparkannya ke tengah percekcokan tersebut yang mengakibatkan
ledakan hebat sehingga membunuh hampir seluruh kaum Yadawa yang ada di
sana. Setelah kehancuran kaumnya,
Baladewa meninggalkan tubuhnya dengan cara melakukan
Yoga. Sementara itu, Kresna memasuki hutan dan duduk di bawah pohon untuk bermeditasi.
Mahabharata
menyatakan bahwa seorang pemburu bernama Jara mengira sebagian kaki
kiri Kresna yang tampak sebagai seekor rusa sehingga ia menembakkan
panahnya, menyebabkan Kresna terluka secara fana, sampai berujung ke
kematiannya. Saat jiwa Kresna mencapai surga, tubuhnya di
kremasi oleh
Arjuna.
[58][59][60]
Menurut sumber-sumber dari
Purana,
[61] kepergian Kresna menandai akhir zaman
Dwaparayuga dan dimulainya
Kaliyuga, yang dihitung jatuh pada tanggal 17/18 Februari 3102 SM.
[62] Para guru aliran
Waisnawa, misalnya
Ramanuja dan aliran
Gaudiya Waishnawa
memandang bahwa tubuh Kresna seutuhnya merupakan tubuh spiritual
sehingga tidak akan pernah membusuk karena hal ini tampaknya merupakan
perspektif dalam
Bhagawatapurana. Kresna tidak pernah disebut menua atau menjadi uzur dalam penggambaran secara historis dalam berbagai
Purana, meskipun telah melewati beberapa
dasawarsa,
tetapi ada alasan untuk sebuah perdebatan apakah ini menunjukkan bahwa
ia tidak memiliki tubuh material, karena pertempuran dan deskripsi lain
dari wiracarita
Mahabharata jelas menunjukkan indikasi bahwa ia tampaknya tunduk pada keterbatasan alam.
[63] Sementara kisah pertempuran tampaknya menunjukkan keterbatasan,
Mahabharatha
juga menceritakan berbagai kisah saat Kresna tidak tunduk pada
keterbatasan, seperti cerita ketika Duryodana mencoba untuk menangkap
Kresna namun tubuhnya memancarkan api yang menunjukkan semua ciptaan ada
dalam dirinya.
[64]
Pemujaan
Aliran Waisnawa
Pemujaan terhadap Kresna merupakan suatu bagian dari aliran
Waisnawa (Waisnawisme), aliran
agama Hindu yang menganggap
Wisnu sebagai
Tuhan Yang Mahakuasa dan memuliakan berbagai
awatara (penjelmaan) yang terkait dengannya, termasuk pasangan (
sakti/
dewi) dewa itu sendiri, serta
orang suci maupun
guru
yang menyebarkan ajarannya. Secara istimewa Kresna dipandang sebagai
penjelmaan Wisnu seutuhnya, atau sebagai wujud Wisnu itu sendiri.
[65] Bagaimanapun juga, hubungan yang pasti antara Kresna dan Wisnu terasa kompleks dan bermacam-macam.
[66] Kadangkala Kresna dianggap sebagai dewa tersendiri, yang memiliki kekuasaan penuh tanpa ketergantungan.
[67]
Di antara berbagai macam dewa, Kresna sangat penting, dan tradisi dalam
garis perguruan Waisnawa biasanya terpusat kepada Wisnu maupun Kresna,
sebagai dewa yang dipuja. Istilah Kresnaisme digunakan untuk meyebut
sekte pemuja Kresna, sementara istilah Waisnawisme untuk sekte yang terpusat kepada Wisnu dan Kresna dianggap sebagai
awatara, daripada Tuhan Yang Mahakuasa.
[68]
Seluruh tradisi Waisnawa menganggap Kresna merupakan awatara Wisnu;
kadangkala Kresna disamakan dengan Wisnu; sementara beberapa tradisi
lainnya, misalnya
Gaudiya Waisnawa,
[69][70] Wallabha Sampradaya dan
Nimbarka Sampradaya, menganggap Kresna sebagai
Swayam Bhagawan, wujud asli Tuhan, atau Tuhan itu sendiri.
[71][72][73][74][75] Swaminarayan, pendiri aliran
Swaminarayana Sampradaya juga memuja Kresna sebagai Tuhan. "Kresnaisme Raya" (
Greater Krishnaism) merupakan bentuk Waisnawa yang kedua atau dominan, berkisar antara penyembahan
Basudewa, Kresna, dan
Gopala pada
Zaman Weda Akhir.
[76] Di masa sekarang kepercayaan tersebut memiliki pengikut yang cukup banyak, termasuk di luar India.
[77]
Tradisi awal
Secara historis, Dewa
Kresna Basudewa (
kṛṣṇa vāsudeva "Kresna, putra
Basudewa") merupakan salah satu bentuk pemujaan tertua dalam aliran
Kresnaisme dan
Waisnawa.
[78][79] Dipercaya bahwa pemujaan tersebut merupakan tradisi penting pada sejarah awal pemujaan Kresna pada zaman kuno.
[80][81]
Tradisi ini dianggap sebagai yang terawal di antara tradisi lainnya
yang kemudian bergabung pada tahap selanjutnya dalam perkembangan
sejarah. Tradisi lainnya meliputi
Bhagawatisme dan penyembahan
Gopala, yang bersama penyembahan
Balakresna (
Bala-Krishna) membentuk dasar tradisi pemujaan yang terpusat pada Kresna pada masa sekarang.
[82][83] Beberapa ahli kuno akan menyamakannya dengan Bhagawatisme,
[80]
dan dipercaya bahwa pendiri tradisi religius ini adalah Kresna, yang
merupakan putra Basudewa, sehingga namanya adalah Bāsudewa (
Vāsudeva),
termasuk ke dalam anggota suku Satvata, dan pegikutnya menyebut diri
mereka sendiri sebagai "Kaum Bhagawata" dan agama ini terbentuk pada
abad ke-2 SM (zaman
Resi Patanjali), atau sekurang-kurangnya pada abad ke-4 SM menurut bukti-bukti
Megasthenes dan dalam kitab
Arthasastra karya
Kautilya,
ketika Bāsudewa dipuja sebagai Tuhan Yang Mahakuasa dengan cara
monoteistik yang kuat, dimana Yang Mahakuasa adalah sempurna, kekal, dan
penuh karunia.
[80] Dalam berbagai sumber di luar pemujaan, pemuja atau
bhakta dianggap sebagai Basudewaka (
Vāsudevaka).
[84] Kitab
Hariwangsa menggambarkan hubungan yang rumit antara Kresna Basudewa,
Sangkarsana,
Pradyumna dan
Aniruda yang kemudian akan membentuk konsep
Waisnawa tentang empat manifestasi yang utama, atau
awatara.
[85]
Tradisi Bhakti
Bhakti berarti ketaatan, yang tidak terbatas pada satu dewa
saja. Akan tetapi Kresna merupakan dewa yang penting dan populer dalam
aspek kebaktian dan sukacita dalam
agama Hindu, khususnya di antara sekte-sekte
Waisnawa.
[69][86] Penyembah Kresna menganut konsep
lila, yang berarti 'sandiwara ilahi', sebagai prinsip pokok di Alam Semesta. Para
lila
Kresna, dengan ungkapan kasih sayang mereka yang melampaui batas-batas
cara penghormatan secara resmi, berfungsi sebagai pengiring aksi-kasi
yang dilakukan awatara Wisnu lainnya:
Rama.
[70]
Gerakan Bhakti yang menyembah Kresna menjadi terkemuka di India
Selatan selama abad ke-7 sampai ke-9 Masehi. Karya-karya tertua meliputi
syair-syair yang ditulis para
Alvar (orang suci) di negara-negara ber
bahasa Tamil.
[87] Kumpulan utama dari karya-karya mereka adalah
Divya Prabandham. Kumpulan lagu terkenal karya Alvar
Andal yaitu
Tiruppavai, saat ia membayangkan dirinya sebagai seorang
gopi (wanita pemerah susu), adalah karya terkenal di antara karya-karya tertua dalam genre ini.
[88][89] [90] Mukundamala karya
Kulasekaraazhvaar adalah karya terkenal lainnya pada masanya.
Penyebaran Gerakan Bhakti Kresna
Gerakan Bhakti menyebar secara cepat dari India Utara ke Selatan, dengan syair berbahasa Sanskerta
Gita Govinda karya
Jayadeva (abad ke-12 M) sebagai pertanda karya sastra dalam pemujaan Kresna. Syair tersebut menguraikan legenda Kresna tentang
gopi istimewa yang menjadi kekasihnya, yakni
Radha, yang kurang dibahas dalam kitab
Bhagawatapurana, namun dibahas sebagai tokoh penting dalam kitab lainnya, misalnya
Brahmawaiwartapurana. Dengan pengaruh
Gita Govinda, Radha menjadi aspek yang tak terpisahkan dalam pemujaan Kresna.
[4]
Saat sebagian masyarakat terpelajar yang fasih dalam
bahasa Sanskerta bisa menikmati karya-karya seperti
Gita Govinda atau
Krishna-Karnamritam karya
Bilwanggala, massa juga menyanyikan lagu-lagu lain karya penyair pemuja Kresna, yang terdiri dalam berbagai bahasa daerah di
India.
Lagu-lagu ini mencerminkan pengabdian pribadi yang kuat yang ditulis
oleh pemuja Kresna dari seluruh lapisan masyarakat. Lagu-lagu karya
Meera dan
Surdas menjadi pertanda dari penyembahan Kresna di
India Utara.
Pada abad ke-11 Masehi, aliran
Waisnawa Bhakti dengan kerangka teologi yang rumit tentang penyembahan Kresna didirikan di India Utara.
Nimbarka (abad ke-11 M),
Wallabhacharya (abad ke-15 M) dan
Caitanya Mahaprabhu (abad ke-16 M) adalah pendiri aliran yang paling berpengaruh. Aliran-aliran ini, yaitu
Nimbarka Sampradaya,
Wallabha Sampradaya dan
Gaudiya Waisnawa, memandang Kresna sebagai dewa tertinggi, bukan
awatara, seperti pada umumnya.
Di
Deccan, khususnya di
Maharashtra, penyair dari sekte
Varkari seperti
Dnyaneshwar,
Namdev,
Janabai,
Eknath dan
Tukaram mempromosikan pemujaan
Witoba,
[23] wujud Kresna di daerah tertentu, dari awal abad ke-13 sampai akhir abad ke-18.
[4] Di India Selatan,
Purandara Dasa dan
Kanakadasa dari
Karnataka menggubah lagu yang didedikasikan untuk
citra Kresna di
Udupi.
Rupa Goswami dari aliran
Gaudiya Waisnawa, telah menyusun ringkasan umum tentang
bhakti yang disebut
Bhakti-rasamrita-sindhu.
[86]
Di Dunia Barat
Sejak tahun 1966, Gerakan Bhakti Kresna telah menyebar keluar India.
Penyebab utamanya adalah misi yang dilakukan oleh organisasi
Masyarakat Internasional Kesadaran Krishna (
International Society for Krishna Consciousness - ISKCON), lebih dikenal sebagai Gerakan Hare Krishna.
[91] Gerakan tersebut didirikan oleh
Bhaktivedanta Swami Prabhupada, yang diinstruksikan oleh
guru Beliau,
Bhaktisiddhanta Sarasvati Thakura, untuk menulis tentang Kresna dalam
bahasa Inggris dan menyebarkan filsafat
Gaudiya Waisnawa kepada masyarakat di
Dunia Barat.
[92]
Dalam kesenian
Dalam mendiskusikan asal mula seni pertunjukkan India, Horwitz menyinggung adanya kisah tentang Kresna dalam
Mahabhashya karya
Patanjali (sekitar 150 SM), yaitu saat episode terbunuhnya
Kangsa (
Kamsa Vadha) dan "pengikatan
raksasa penyerbu surga" (
Bali Bandha) dijelaskan.
[93] Balacharitam dan
Dutavakyam karya
Bhasa (sekitar 400 SM) adalah
lakon berbahasa
Sanskerta
yang terpusat pada Kresna. Mulanya hanya pembeberan masa kecilnya, dan
kemudian lakon satu babak yang berdasarkan satu episode dalam
Mahabharata, saat Kresna berusaha mendamaikan dua sepupu yang bertikai.
[94]
Sejak abad ke-10 M, dengan berkembangnya
Gerakan Bhakti, Kresna menjadi subjek favorit dalam kesenian. Lagu-lagu
Gita Govinda menjadi terkenal di antero
India, dan terdapat banyak imitasi. Lagu tersebut disusun oleh penyair gerakan Bhakti, dimasukkan ke dalam kelompok
lagu rakyat maupun
klasik.
Dalam legenda Hindu, tarian yang dilakukan Kresna bersama kekasihnya,
Radha, dan para gadis pemerah susu dikenal sebagai "
Rasa lila", atau "Tarian Kasih Sayang Ilahi".
[95] Rasa lila menjadi tema populer dalam tari
Bharatanatyam,
Odissi dan
Kuchipudi. Rasa lila menjadi bentuk seni pertunjukkan rakyat populer di
Mathura,
Vrindavan di
Uttar Pradesh, khususnya selama hari raya
Krishna Janmashtami dan
Holi, dan di antara berbagai pengikut
Gaudiya Waisnawa di wilayah tersebut. Rasa lila juga dihormati sebagai salah satu Fetival Nasional di
Assam. Dalam kitab
Bhagawatapurana
dinyatakan bahwa siapapun yang mendengarkan atau menggambarkan Rasa
lila dengan penuh keyakinan maka akan mencapai "pengabdian atas rasa
cinta sejati" dari Kresna (
Suddha-bhakti).
[96]
Tarian
Sattriya, yang diciptakan oleh tokoh suci
Waisnawa dari
Assam,
Sankardeva, memuliakan kebajikan dari Kresna. Pada
Abad Pertengahan, di
Maharashtra tercipta suatu bentuk seni bercerita yang dikenal sebagai
Hari-Katha, yang menceritakan kisah-kisah dan ajaran Waisnawa melalui musik, tarian, dan urutan
narasi, dan kisah tentang Kresna adalah salah satu bagiannya. Tradisi ini berkembang hingga ke
Tamil Nadu dan
negara bagian India lainnya di sebelah selatan, dan kini populer di seluruh India.
Krishnalila Tarangini karya
Narayana Tirtha (abad ke-17 M) yang menyediakan unsur-unsur dari lakon musikal
Bhagavata-Mela menceritakan kisah Kresna semenjak lahir hingga pernikahannya dengan
Rukmini.
Tyagaraja (abad ke-18 M) menulis beberapa karya yang sama tentang Kresna, disebut
Nauka-Charitam. Penuturan Kresna dari berbagai
Purana dipentaskan dalam
Yakshagana, seni pertunjukkan asli dari daerah
Karnataka,
India. Banyak film dalam berbagai bahasa di India telah dibuat berdasarkan cerita ini.
Adaptasi dalam budaya Indonesia
Wiracarita
Mahabharata, yang memuat sebagian riwayat Kresna, terdiri dari delapan belas buku yang disebut
Astadasaparwa (18
parwa). Wiracarita tersebut tidak hanya terkenal di
Asia Selatan, namun juga menyebar ke
Asia Tenggara, antara lain
Indonesia. Di Indonesia, beberapa bagiannya, seperti
Adiparwa,
Wirataparwa,
Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa
parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk
prosa berbahasa
Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi, pada masa pemerintahan raja
Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari
Kediri. Pada masa itu, dikenal pula proyek penerjemahan dengan istilah "
mangjawakěn byāsamata", yang bermakna membuat latar dalam cerita tersebut seolah-olah di
pulau Jawa.
[97]
Wayang Kresna dalam seni
pewayangan Bali, yang digambarkan sebagai sosok raja berkulit hijau.
Di Indonesia, kisah Kresna yang bersumber dari
Mahabharata,
Hariwangsa, maupun
Purana telah diadaptasi lalu digubah menjadi
kakawin, antara lain
Kakawin Kresnayana dan
Kakawin Hariwangsa. Keduanya menceritakan kisah pernikahan Kresna dengan
Rukmini, putri dari
kerajaan Widarba. Selain itu, terdapat pula
Kakawin Bhomantaka, yang menceritakan perang antara Kresna dengan raksasa Bhoma.
Di Indonesia,
Mahabharata juga diangkat ke dalam pertunjukkan
wayang, dengan adaptasi dan perubahan seperlunya. Dalam budaya pewayangan Jawa, tokoh Kresna dikenal sebagai raja
Dwarawati (
Dwaraka), kerajaan para keturunan
Yadu dan merupakan titisan Dewa
Wisnu. Kresna adalah putra
Basudewa, Raja
Mandura (
Mathura). Ia dilahirkan sebagai putra kedua dari tiga bersaudara (dalam versi
Mahabharata ia merupakan putra kedelapan). Kakaknya bernama
Baladewa (
Balarama, alias Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai
Sembadra (
Subadra), yang dinikahi oleh
Arjuna, sepupunya dari pihak ibu. Kresna memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Para istrinya yaitu Dewi
Jembawati, Dewi
Rukmini, dan Dewi
Satyabama. Menurut pewayangan, anak-anaknya adalah Raden
Boma Narakasura, Raden
Samba, dan Siti Sundari.
Pada
lakon Baratayuda, yaitu perang antara
Pandawa melawan
Korawa, beliau berperan sebagai sais atau
kusir kereta perang
Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama pihak
Pandawa. Sebelum perang melawan
Karna, atau dalam babak yang dinamakan
Karna Tanding, beliau memberikan wejangan panjang lebar kepada
Arjuna. Wejangan beliau dikenal sebagai
Bhagawadgita, yang berarti "Kidung Ilahi".
Dalam budaya pewayangan, Kresna dikenal sebagai tokoh yang sangat
sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, berubah bentuk menjadi
raksasa,
dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang
mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu
digunakan untuk menghancurkan dunia. Pusaka-pusaka sakti yang
dimilikinya antara lain
senjata cakra, terompet kerang (
sangkakala) bernama Pancajahnya, Kaca Paesan,
Aji Pameling dan
Aji Kawrastawan.
Dalam agama lain
Arca
Neminatha,
Tirthankara ke-22 dalam
Jainisme. Menurut pandangan Jainisme, Neminatha adalah sepupu Kresna dari Sauripura. Ia lahir di kalangan Dinasti Hariwangsa.
Jainisme
Menurut ajaran
Jainisme,
terdapat tiga serangkai, yaitu seseorang yang bergelar Basudewa bersama
kakaknya yang bergelar Baladewa, dan musuh mereka yang bergelar
Pratibasudewa. Tiga serangkai tersebut lahir pada setiap zaman dan
dengan nama yang berbeda-beda. Baladewa adalah penegak prinsip Jainisme
tentang
tindak tanpa kekerasan.
Akan tetapi, Basudewa harus mengabaikan prinsip itu untuk membunuh
Pratibasudewa demi menyelamatkan dunia. Kemudian Basudewa harus turun ke
Naraka
(dunia bawah) sebagai hukuman atas tindak kekerasan yang dilakukannya.
Setelah menjalani hukuman, ia dilahirkan sebagai seorang
Tirthankara.
[98][99]
Dalam daftar 63
Shalakapursha atau tokoh termasyhur Jainisme, termasuk di antaranya adalah 24
Tirthankara dan 9 tiga serangkai tersebut. Salah satu tiga serangkai tersebut adalah Kresna sebagai Basudewa,
Balarama sebagai Baladewa, dan
Jarasanda sebagai Pratibasudewa. Menurut Jainisme, ia merupakan sepupu
Neminatha, Tirthankara ke-22. Kisah-kisah tiga serangkai tersebut dapat disimak dalam
Hariwangsa karya Jinasena (bukan kitab
Hariwangsa pendukung
Mahabharata) dan
Trishashti-shalakapurusha-charita karya Hemachandra.
[100]
Agama Buddha
Kisah Kresna muncul dalam cerita
Jataka dalam
agama Buddha,
[101] terutama dalam Ghatapandita Jataka, sebagai seorang pangeran dan penakluk legendaris dan Raja India.
[102] Dalam versi agama Buddha, Kresna disebut
Basudewa,
Kanha dan
Kesawa, dan
Balarama merupakan adiknya, disebut pula Baladewa. Detailnya menyerupai cerita yang dimuat dalam kitab
Bhagawatapurana.
Basudewa, beserta sembilan saudaranya yang lain (semuanya merupakan
pegulat yang kuat) beserta kakak perempuannya (Anjana) merebut seluruh
Jambudwipa (India) setelah memenggal paman mereka yang dianggap kejam, yakni Raja
Kangsa, kemudian seluruh raja di Jambudwipa dengan menggunakan
Cakra Sudarsana miliknya. Sebagian besar cerita yang memuat kekalahan Kangsa mengikuti cerita yang terkandung dalam
Bhagawatapurana.
[103]
Seperti yang diceritakan dalam
Mahabharata, semua saudaranya pada akhirnya tewas karena kutukan Resi Kanhadipayana (
Byasa),
juga dikenal sebagai Kresna Dwipayana). Kresna sendiri tertusuk oleh
senjata pemburu karena suatu kesalahpahaman, meninggalkan Anjanadewi,
satu-satunya anggota keluarganya yang masih hidup. Setelah itu,
riwayatnya tidak disebutkan lagi.
[104]
Karena Jataka merupakan cerita yang diberikan menurut sudut pandang
Buddha Gautama di
kehidupan sebelumnya (serta kehidupan sebelumnya dari para pengikut Buddha), maka kisah Kresna pun dianggap sebagai salah satu kehidupan
Sariputra,
salah satu murid Buddha yang terkemuka, dan "Dhammasenapati" atau
"Panglima Dharma" dan biasanya digambarkan sebagai "tangan kanan" Buddha
dalam kesenian dan ikonografi Buddha.
[105] Sang
Bodhisattva,
yang lahir dalam cerita ini sebagai salah satu adiknya bernama
Ghatapandita, menyelamatkan Kresna dari dukacita karena kehilangan
putranya.
[102] Kresna sebagai manifestasi kebijaksanaan dan tukang kelakar yang disayangi juga disertakan dalam
panteon agama Buddha di
Jepang.
[106]
Agama Bahá'í
Umat Bahá'í meyakini bahwa Kresna adalah seorang "
Manifestasi Tuhan", atau salah seorang dalam rangkaian para
nabi
yang telah mengungkapkan Firman Tuhan untuk umat manusia pada waktunya.
Maka dari itu, Kresna berada pada posisi yang mulia bersama Nabi
Ibrahim,
Musa,
Zarathustra,
Buddha,
Muhammad,
Yesus Kristus, Sang
Báb, dan pendiri
agama Bahá'í,
Bahá'u'lláh.
[107]
Ahmadiyyah
Di
Asia Selatan, anggota
komunitas Ahmadiyyah meyakini Kresna sebagai utusan Tuhan, seperti yang diungkapkan oleh pendiri aliran tersebut,
Mirza Ghulam Ahmad.
Ghulam Ahmad juga mengaku memiliki kesamaan dengan Kresna sebagai
pembangkit agama dan moralitas pada zaman modern yang misinya adalah
mendamaikan umat manusia dengan Tuhan.
[108] Pengikut Ahmadiyyah mempertahankan istilah
avatar (
awatara)
yang dianggap sama dengan istilah "nabi" dalam tradisi agama di Timur
Tengah sebagai campur tangan Tuhan dengan manusia; seperti Tuhan yang
menunjuk manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dalam
Kuliah Sialkot, Ghulam Ahmad menulis:
Jelaslah bahwa Raja Krishna, sesuai dengan apa yang telah diwahyukan
kepadaku, adalah orang yang benar-benar agung yang sulit untuk menemukan
orang sepertinya di antara para Resi dan Awatara
dalam Hindu. Dia adalah seorang Awatara — yaitu, Nabi — besar pada
masanya yang kepadanya Roh Kudus turun dari Tuhan. Dia berasal dari
Tuhan, jaya dan sejahtera. Ia membersihkan tanah Arya dari dosa dan
ternyata Nabi pada zamannya yang kemudian ajarannya diubah dalam
berbagai cara. Dia penuh kasih kepada Tuhan, seorang teman kebajikan dan
musuh kejahatan.
Lainnya
Pemujaan atau penghormatan kepada Kresna telah diangkat dalam
berbagai gerakan keagamaan baru sejak abad ke-19, dan kadang-kadang
diikutsertakan dalam
panteon eklektik dalam kitab-kitab
okultisme, bersama tokoh-tokoh dari
mitologi Yunani,
Buddha,
Alkitab, dan bahkan tokoh sejarah.
Sebagai contoh,
Édouard Schuré, tokoh berpengaruh dalam
filsafat abadi dan gerakan okultisme, menganggap Kresna sebagai
Inisiasi Agung; sementara itu para ahli
teosofi menghormati Kresna sebagai inkarnasi
Maitreya (salah satu dari para Ahli Kebijaksanaan Kuno), guru spiritual umat manusia yang terpenting setelah
Buddha.Kresna di
kanonisasi oleh
Aleister Crowley dan
dihormati sebagai orang suci dalam
Misa Gnostik dari
Ordo Kuil Timur